Just another WordPress.com weblog

Terbaru

DARI TRIKORA SAMPAI SUPERSEMAR

IRIAN, IRIAN, IRIAAAANNN…….

Itulah bait pertama lagu yang diajarkan kepada para pelajar pada awal tahun 60-an dalam rangka kampanye perebutan Irian Barat. Lagunya amat menarik sehingga sebagi pelajar kami terbawa pada retorika vokalnya. Gerakan Trikomando Rakyat (TRIKORA) untuk mengembalikan Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi saat itu nampaknya sudah menjadi bagian hidup sehari-hari bangsa Indonesia. Disekolah, dikantor, ditempat-tempat umum topik pembicaran orang lebih sering kepada soal TRIKORA ini.

Emosi masa Setiap saat selalu bangkit, muncul berupa ketidak senangan kepada bangsa Belanda. Apalagi semangat anti Belanda tidak pernah putus sejak pengambil alihan perusahaan milik Belanda pada tahun-tahun sebelumnya. Kegandrungan masyarakat ini tentu saja terutama karena dipicu pidato-pidato Presiden soekarno. Sejak tahun limapuluhan, Bung Karno memang tidak pernah melupakan untuk menyelipkan soal Irian Barat dalam pidatonya. Dengan perkataan lain telah terjadi etape politik memusuhi Belanda babak kedua setelah masa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949. Itulah suasana gejolak politik 60-an yang terjadi. Dalam suasana ini, tanpa disadari masyarakat, dua kekuatan politik mulai berebut pengaruh dan bersaing habis-habisan, yaitu Angkatan Darat dan PKI. Persaingan ini baru berahir nanti saat meletusnya peristiwa G30S pada tahun 1965. Tapi dalam soal TRIKORA, keduanya melihat kalau kampanye perebutan Irian Barat akan menuai pembangunan kekuatan politik masing-masing secara nyata.

Pada bulan Juli 1962 anggota BTI (organisasi tani dibawah PKI) berjumlah 5,7 juta orang, anggota SOBSI 3,3 juta orang, Gerwani 1,5 juta orang. Jumlah anggota PKI yang tercatat pada ahir tahun 1962 telah mencapai lebih dari 2 juta orang. Jumlah kaum intelek anggota PKI, LEKRA telah mencapai 100.000 orang pada medio tahun 1963. Semua ini telah menempatkan PKI sebagai partai komunia terbesar diluar negara komunis. Bagi T.N.I, kampanye untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda adalah kesempatan terbaik untuk membangun kekuatan militernya. Hal ini sejalan dengan usaha memancing simpati Rusia sebagi blok sovyet yang sedang perang dingin dengan blok Amerika. Bantuan hibah (grant) atau pinjaman ringan merupakan masa paling mewah bagi pembangunan kekuatan militer Indonesia. Ketika tidak satupun negara Asia Tenggara yang memiliki pesawat pembom jarak menengah, kita suda punya squadron Elyusin dengan semua perangkat penunjangnya. Kekuatan udara pesawat tempur AURI tiba-tiba melompat dari pesawat propeler tua kepada pancargas modern, seperti Mig 15, 17 dan terahir 21.

Tidak lupa untuk pertama kali kita juga diperkenalkan dengan sistim radar canggih dan peluru kendali dari darat keudara. Demikian pula kekuatan laut kita saat itu tidak bisa dibilang kecil. Kita memiliki sejumlah kapal perang besar, kapal selam, kapal cepat torpedo, penyapu ranjau, amtrack, tank amfibi dan masih banyak lagi. Tapi semua itu yang paling mewah adalah angkatan darat. Sejumlah perwira tinggi yang diketuai Jenderal AH. Nasution, telah mendapat undangan untuk berkunjung ke Rusia untuk diperkenalkan pada kekuatan militer pakta warsawa. Angkatan darat dengan kekuatan infantrinya akan ditunjang oleh kekuatan arteleri dan kavaleri tingkat dunia. Senjata pasukan yang dimiliki mulai dari senjata ringan Kalasnikof (AK 47), Bren AK, pistol Tokaref, sampai peluncur granat yang belum pernah kita miliki sebelumnya.

Demikian juga telah diadakan pelatihan militer bagi personil ketiga angkatan di negara-negara blok sovyet dan kunjungan konsultan militer Rusia juga bagi ketiga angkatan. Semua kenyataan ini rupanya sukar dipahami secara arief oleh para pejabat Pemerintahan. Seyogyanya persiapan perang ini juga diimbangi dengan penkondisian sosial, politik dan ekonomi secara baik pula. Namun hal itu tidak segampang membalik tangan. Kondisi ekonomi nasional sedang merosot. Indonesia justru sedang menghadapi hiper-inflasi yang permanen (sekitar 100 % pertahun) mulai tahun 1961 sampai tahun 1964. Padahal dilihat dari sudut pandang dunia luar dalam negeri kita sedang hanyut pada keadaan radikalisme politik. Bagi kepentingan Amerika, hal ini rupanya bukan main-main.

Melihat pihak militer yang amat tergantung pada blok Sovyet, dan pembangunan politik dalam negeri yang dikuasai PKI. Maka tidak ada pilihan lain. Amerika menekan Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Sebagai negara kecil Belanda yang saat itu dipimpin Perdana menteri de Quai tidak punya pilihan lain. Pada bulan Februari 1962, Presiden Kennedy mengutus adiknya Jaksa Agung Robert Kennedy untuk bertindak sebagai penengah. Meskipun perundingan berjalan tidak terlalu mulus, pada tanggal 15 Agustus 1962, Belanda sepakat menyerahkan wilayah Irian Barat pada tanggal 1 Oktober 1962 kepada suatu pemerintahan sementara PBB yang selanjutnya akan menyerahkan kepada pihak Indonesia tanggal 1 Mei 1963. Dan seperti tertulis dalam sejarah, setelah melalui PEPERA, Irian Barat yang kini bernama PAPUA itu kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Tapi dibalik itu meskipun Soekarno telah mencapai cita-citanya, dalam negeri Indonesia bagai api dalam sekam.

Pihak militer melihat PKI sebagai musuh, sebaliknya PKI melihat tentara sebagai seteru. Ketegangan berhasil diatasi Soekarno dengan membangun musuh imajiner baru yang namanya Neo Imperialisme, Neo Kolonialisme dan Neo Kapitalisme. Yang bentuk nyatanya digambarkan sedang bercokol tidak jauh dari Indonesia, yaitu apa yang disebutnya negara boneka Malaysia. Malaysia dan Singapura telah dimerdekakan Inggris sejak tahun 1957, tapi ada ganjalan Soekarno mengenai hal tersebut. Bukan saja karena merasa satu rumpun, tapi sesungguhnya cita-cita Indonesia Raya itu tak pernah padam. Pada suatu hari ketika kembali dari Dalat (tanggal 13 Agustus 1945), setelah menghadap Marsekal Terauchi, dikota Taiping (Malaya Utara), Soekarno dan Hatta bertemu dengan sejumlah pemuda perwakilan rakyat Malaya. Ketuanya bernama Ibrahim Yakub, dan atas nama rakyat Malaya, mereka menginginkan bergabung dengan Republik Indonesia saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Soekarno menjanjikannya.

Belakangan demikian juga rakyat Kalimantan Utara pernah menyampaikan petisi yang sama ingin bergabung dengan Indonesia. Bagi Indonesia juga tidak terlalu bersih karena keerap campur tangan dalam negari Indonesia. Misalnya berkaitan dengan gerakan PRRI-Permesta, Malasia merupakan tempat transit kaum pemberontak. Mungkin saja ada dalam pikiran Soekarno saat itu, kalau peralatan militer yang menggunung yang tidak sempat dipakai saat Irian Barat, bisa dipergunakan untuk konfrontasi dengan Malasia. Tapi mimpi itu rupanya sukar diwujudkan, karena didalam negeri keadaan politik sudah kadung bagaikan hamil tua. Persaingan politik dua kubu PKI dan Angkatan darat tidak bisa menanti untuk didamaikan lagi. Tidak tahu bagaimana kejadiannya secara pasti karena sampai sekarangpun orang masih banyak menyebutnya sebagai misteri. 7 orang jenderal Angkatan darat kedapatan diculik dan dibunuh. Seperti apa yang disampaikan oleh yang empunya cerita…..PKI lah yang dianggap biang keladinya. Maka sejak tanggal 12 Maret 1966, stelah menerima SP 11 Maret (SUOERSEMAR) dari Soekarno, Jenderal Soeharto Men.Pangad pengganti Jenderal Yani (salah satu korban G30S) mengadakan pembersihan nasional dari anasir PKI dan onderbownya…………..

SEJARAH MADILOG

Ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata Cililitan Jakarta. Disini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog, ialah lebih kurang 8 bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari.

Buku yang lain ialah Gabungan Aslia sudah pula setengah di tulis. Tetapi terpaksa ditunda. Sebab yang pertama karena kehabisan uang. Kedua sebab sang Polisi, Yuansa namanya diwaktu itu, sudah 2 kali datang memeriksa dan menggeledah rumah lebih tepat lagi “pondok’’ tempat saya tinggal. Lantaran huruf madilog dan Gabungan Aslia terlampau kecil dan ditaruh di tempat yang tiada mengambil perhatian sama sekali, maka terlindung ia dari mata polisi. Terpeliharalah pula kedua kitab itu dan pengarangnya sendiri seterusnya dari mata dan tongkat kempei Jepang.

Lantaran hawa kediaman saya itu sudah agak panas dan bahaya kelaparan sudah mengintip, maka terpaksalah saya memberhentikan pekerjaan saya meneruskan menulis Gabungan Aslia. Saya bertualang di daerah Banten mencari nafkah sambil memperlindungkan diri pula.

Akhirnya saya dapat pekerjaan tetap di Tambang Arang, Bayah. Disinilah saya mendapat pekerjaan sedikit lebih tinggi dari romusha biasa, (maklumlah orang tak punya diploma dan surat keterangan!) sampai menjadi pengurus semua romusha dan penduduk kota Bayah dan sekitarnya dalam hal makanan, kesehatan, pulang-pergi dan sakit matinya romusha ribuan orang, dengan perantaraan kantor urusan prajurit pekerja.

Sebagai ketua Badan Pembantu Pembelaan (BPP) dan Badan Pembantu Prajurit Pekerja (BP3), saya akhirnya sampai dipilih menjadi wakil daerah Banten ke kongres Angkatan Muda yang dijanjikan di Jakarta, tetapi tak jadi itu (bulan Juni 1945). Disinilah saya berjumpa dengan pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dll. yang sekarang mengambil bagian dalam pergerakan Persatuan Perjuangan. Juga dengan pemuda lainnya umpamanya seorang jurnalis yang amat dikenal di sekitar Bayah ketika itu, tak lebih dan tak kurang dari Bang Bejat, alias Anwar Tjokroaminoto dan saudaranya. Resan minyak ke minyak, resan air ke air, kata pepatah.

Demikianlah pengarang ini yang pada masa Jepang itu memperkenalkan dirinya dengan nama ILJAS HUSSEIN, dengan jalan memutar sampai juga ke golongan yang dicari yang mulai mengambil bagian besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, ialah golongan pemuda. Pekerjaan revolusioner di samping pemuda itu sampai sekarang terus berlaku, yakni Persatuan Perjuangan yang sudah mulai menulis sejarah. Atas permintaan pemuda pulalah Madilog sekarang akan disebarkan di antara mereka yang rasanya sanggup menerimanya.

Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan, di bawah sayapnya pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya. Madilog ikut lari bersembunyi ke Bayah Banten, ikut pergi mengantarkan romusha ke Jawa tengah dan ikut menggeleng-geleng kepala memperhatikan proklamasi Republik Indonesia. Di belakang sekali ikut pula ditangkap di Surabaya bersama pengarangnya, berhubung dengan gara-gara Tan Malaka palsu………………bahkan hampir saja Madilog hilang.

Baru 3 tahun sesudah lahirnya itu, Madilog sekarang memperkenalkan dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya.

TAN MALAKA

MADILOG – BAB I LOGIKA MISTIKA

Demikianlah Firmannya Maha Dewa Rah :
Ptah : maka timbullah bumi dan langit.
Ptah : maka timbullah bintang dan udara.
Ptah : maka timbullah sungai Nil dan daratan.
Ptah : maka timbullah tanah-subur dan gurun.

Jika saya silap mencatat (di luar kepala) Firmannya Maha Dewa Rah itu, maka silapnya itu tak akan beberapa. Tetapi saya pikir maknanya sudah tersimpul pada catatan di atas ini. Firman Maha Dewa Rah sudah tentu banyak juga kawannya di dunia sekarang. Firman Maha Dewa Rah sudah cukup, memberi gambarannya LOGIKA MISTIKA atau logika yang berdasarkan rohani.

Negara-kuno, yang kita kenal paling tua dan paling unggul, ialah Negara Egypte, yang sekarang juga dinamai Mesir. 6000-8000 tahun dahulu penduduk Mesir sudah tersusun di bawah perintahnya Pharao, yang juga menguasai hidup dan mati rakyatnya. Maha Dewa Rah yakni Dewa Matahari, ialah Dewa yang terkuasa di antara beberapa dewa.

Para pemirkir Egypte, yang di antaranya banyak sekali menurunkan ilmu dalam hal obat-obatan, hitung-menghitung dll, kepada beberapa negara lain di luar Egypte, seperti Punisa, Yunani dll, tentu juga memikirkan asalnya bumi dan bintang, memikirkan asalnya dunia yang terkembang.

Rah adalah Dewa Matahari, ialah Rohani, yang lebih dahulu adanya dari pada dunia, bumi, dan bintang dan langit. Maha Dewa Rah tentulah sempurna, yakni Maha Terkuasa, asal dari pada semua benda yang ada di dunia ini. Dengan Firman yang berbunyi Ptah saja Bumi, Langit, Bintang, beribu juta, sungai nil dan gurun Pasir bisa timbul. Timbulnya itu adalah pada satu saat saja, sesudah perkataan Ptah tadi difirmankan. Jadi rohanilah yang pertama, zatlah yang kedua. Zat ini berasal dari Rohani. Bukan sebaliknya, yakni rohani yang berasal dari zat
.
Rah tak perlu menunggu-nunggu, seperti pak tani menunggu-nunggu padinya sesudah benihnya ditanam. Kalau dia mesti menunggu, maka ini berarti, bahwa dia pasti takluk pada Sang Waktu. Jika begitu maka Maha Dewa Rah bukanlah terkuasa. Ringkasnya, Maha Dewa Rah itu terkuasa, tidak takluk kepada Zat dan waktu. Jika begitu, maka Maha Dewa Rah bukanlah terkuasa. Ringkasnya, Maha Dewa rah itu terkuasa, tidak takluk kepada Zat dan waktu
.
Firman RAH itulah yang menggambarkan jawab yang paling jitu dan konsekwen, jujur-dasar, atas pertanyaan yang maha penting dalam Filsafat: manakah yang pertama, dan mana yang kedua, mana yang asal dan mana yang akibat, di antara Zat dan Rohani?

Tetapi ilmu Pasti, seperti ilmu bintang, ilmu alam, ilmu pisah (kimia), ilmu matematika dll, yang semuanya sekarang diajarkan di sekolah di lima benua yang kita kenal ini, ialah berdasarkan Filsafat yang sebaliknya. Disini Rohani berupa Kodrat, Kracht, Force, tiadalah dianggap barang yang terpisah, barang yang berdiri sendirinya, barang yang bisa melahirkan Zat, dalam waktu yang lebih cepat dari sekejap mata. Disini Force, Kodrat itu, terkandung oleh Matter, oleh benda. Dimana ada benda disana baru ada Kodrat.

Benda yang oleh bangsa Yunani dahulu kala dinamai electron mengandung kodrat yang dinamai listrik. Besi-berani yang kita semuanya kenal, menarik besi biasa dsb. Benda mesti dahulu kita saksikan, barulah dibelakangnya bisa kita saksikan kodratnya. Kodrat listrik, tiadalah bisa kita lihat rupanya, tetapi kita saksikan kekuatannya. Kekuatannya ini bisa kita ukur dengan tepat. Kodrat listrik itu bisa menggerakkan mesin, bisa memberi panas dan cahaya. Tetapi kodrat listrik itu tak bisa membikin zat baru, seperti orang, hewan, malah sebutir beraspun listrik itu tak bisa bikin. Jadi buat ilmu Pasti Kodrat itu tak bisa terpisah dari benda. Lagi pula mesti ada benda dahulu, baru dibelakangannya timbul kodrat. Electron atau dynamo dahulu, baru dibelakangnya ada kodrat listriknya. Tidak ada bendanya, tak ada pula kodratnya. Energy, kodrat semata-mata tak bisa menimbulkan benda.

Cepatnya Maha Dawa RAH menimbulkan bumi dan langit; betul cepat sekali menggambarkan Maha-Kuasanya Dewa RAH! Tetapi hal ini bertentangan benar dengan Law Evolution inilah yang dipakai oleh Charles Darwin buat membentangkan timbul, tumbuh dan tumbangnya hewan serta tumbuhan. Kalau Law of Evolution Undang Pertumbuhan itu tumbang, maka tumbanglah pula ilmu biology, ilmu hidup tentang hewan dan tumbuhan. Tumbanglah pula gedung ilmu, yang sudah menimbulkan puluhan raksasa berpikir dari ilmu, yang sudah nyata sekali manfaatnya buat seluruhnya umat manusia. Gedung ilmu biology adalah amat permai sekali dan senantiasa ditambah permainya oleh para ahli pertumbuhan di dunia ini. Emanuel Kant, ahli Filsafat Jerman yang kesohor itu memakai undang pertumbuhan buat membentangkan timbul tumbuh dan tumbangnya bumi, matahari serta juta-juta bintang di langit. Sistem yang dibangunkan oleh Darwin dan Kant, boleh diperiksa dan dikritik, karena memangnya pula sifatnya ilmu pasti, ialah tahan uji. Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah Ilmu Pasti itu. Tetapi walupun sesuatu sistem dari sesuatu ilmu itu bisa mati, Undang Pertumbuhan, The Law of Evolution akan tetap tinggal.

Syahdan menurut Darwin, maka tumbuhan-tumbuhan, hewan dan manusia itu adalah hasil dari pertumbuhan yang lama, beratus, beribu, malah berjuta-juta tahun, dari dua-tiga biji-asli (cells) sampai ke manusia. Menurut Kant dan para ahli bintang lainnya di zaman sekarang, maka ribuan juta-jutaan bintang dan bumi di langit itu, adalah pertumbuhan yang lama, juta-jutaan tahun pula dari permulaan molten Mass, benda lebur sampai ke bentuk dunia yang sekarang.

Semua perubahan dalam juta-jutaan tahun itu, dari leburan benda sampai bumi dan bintang di langit, dan beberapa biji-asal tadi sampai ke manusia ada mempunyai keadaan dan sebab. Oleh karena berlainan keadaan hidup, umpamanya berlainan iklim, maka biji asal tadi menjelma menjadi ikan. Lama kelamaan ikan menjelma menjadi amphibi (hewan yang hidup di air dan daratan, seperti kodok dll). Amphibi lama kelamaan menjadi reptil (bintang menjalar seperti ular). Reptil lambat laun menjelma menjadi binatang yang menyusukan anaknya, seperti lembu dan monyet. Monyet inilah yang menderita penjelmaan dalam jutaan tahun sampai timbul hewan berupa manusia. Semua penjelmaan itu berlaku menurut undang yang nyata dan sebab serta akibat yang nyata dan tetap, dalam waktu jutaan tahun. Maha Dewa Rah menjelmakan Bumi dan Bintang, sungai nil dan daratan dsb dalam sekejab mata saja, ialah selama membunyikan Firman PTAH saja. Tetapi menurut Undang Pertumbuhan maka penjelmaan tadi terjadi dalam dalam juta-jutaan tahun. Dalam penjelmaan itu bukan kodrat yang dahulu, melainkan benda, matter. Disinilah LOGIKA MISTIKA mendapat tantangan hebat dari ILMU PASTI dalam hal pelaksanaan UNDANG PERTUMBUHAN (The Law of Evolution). Dalam hal pelaksaan lainpun, dalam undang lain dari ilmu pasti, logika MISTIKA tadi mendapat tantangan pula.

Tiangnya ilmu kodrat (Mechanika), ialah satu cabang dari ilmu pasti, ialah “The Law of Conservation of Force’’, yakni Undang Tentang Ketetapan Jumlah Kodrat di dunia ini. Kawannya ialah Undang ketetapan Jumlah Benda di dunia ini. Syahdan menurut Undang Ketetapan Kodrat itu, maka kodrat yang hilang pada satu bentuk bisa didapat pada bentuk yang lain. Jadi jumlahnya kodrat tadi tinggal tetap saja. Undang ini dilaksanakan oleh Joule, seorang Ahli Ilmu Kodrat Inggris (1818-1889), seperti berikut :

Dengan empat cara, Joule membuktikan persamaan panas dan Kodrat (mechanica) energy. Dia dapatkan, bahwa buat menaikkan panasnya 1 pond air dengan 1 derajat, perlu dipakai 772 feet-pounds, kaki-pond. Artinya, ialah banyaknya kodrat yang perlu dipakai buat menaikkan 772 pond satu kaki ke atas.

Jadi Joule mendapat panas. Tetapi dia kehilangan kodrat. Jumlah kodrat di dunia tinggal tetap seperti dahulu. Cuma sekarang kodrat yang hilang itu berupa panas, yaitu satu bentuk dari kodrat juga. Banyak persamaannya dengan seorang hartawan yang umpamanya mempunyai uang yang nilainya R. 1.000.000., tetapi yang R. 500.000. dia belikan rumah, kapal dan sebagainya. Sebagian dari hartanya sudah bertukar rupa, ialah menjelma menjadi rumah, kapal dsb. Tetapi jumlah nilainya tetap R. 1.000.000. juga. Hartanya itu betul bertukar bentuk, uang mas bertukar menjadi rumah, kapal dan sebagainya, tetapi rumah dan kapal itupun harta juga. Begitu juga Joule mengadakan undangan tentang perhubungan panas listrik. Undang ini dipakai pada persoalan lampu.

Seperti jumlahnya kodrat itu tetap di alam ini, begitu juga jumlah benda (mass). Satu benda yang berupa Zat-Asli (element) bisa hilang. Tetapi yang timbul umpamanya kayu atau daging. Garam yang terkandung oleh bangkai hewan atau mayat manusia yang hilang, bisa dicari pada tumbuhan yang mengisap garam tadi. Yang hilang ialah garamnya atau airnya kucing atau manusia, yang timbul ialah bambu atau pohon kelapa. Jumlah zat atau benda di alam tetap, seperti dahulu juga. Kalau beratnya manusia yang hilang itu 50 kg, maka berat kayu yang berganti itu 50 kg pula.

Zat-Asli (element) yang dikenal di dunia sekarang ini adalah 92 buah. (Di zaman dulu cuma 4 buah saja, ialah tanah, air, udara, dan api. Tak heran kalau besok atau lusa angka 92 sekarang akan ditambah lagi). Bagaimana Zat-Asli yang 92 buah yang sekarang itu berpadu dan berpisah sudah banyak pula dikenal.

Seorang guru sekolah, di Inggris, bernama Dalton, mendapatkan satu Undang yang amat penting buat Ilmu Pisah. Undang itu dinamai “Law of Constant Composition’’, yakni Undang perpaduan dari Zat-Asli bernama Oxygen (Zuurstof) dan Hydrogen (Waterstof). Bagaimanapun air itu diperoleh, dalam kamar ilmu pisah (labolatorium) ataupun di udara, sebagai air hujan, air itu tetap satu perpaduan Oxygen dan Hydrogen, atas perbandingan yang tetap pula. Dalam kamar ahli pisah mesti dipakai 88,9 % Oxygen dan 11,1 % Hydrogen. Di udarapun perbandingan itu tetap begitu. Begitu juga perpaduan semua benda yang lain-lain, berlaku menurut undangnya Dalton tadi. Demikianlah garam dapur yang dibikin di kamar Ahli Pisah, ditambang ataupun di air laut takluk kepada undangnya Dalton.

Kalau keperluan satu benda atas 92 macam zat-asli tadi sudah diketahui, maka tambah atau susutnya benda itu sesudah beberapa lama dapatlah pula dihitung. Seorang bayi yang beratnya baru 3 kg, tetapi sesudah umpamanya 20 tahun menjadi 53 kg, maka tambahan yang 50 kg dalam 20 tahun itu bukanlah tambahan oleh kodratnya malaikat ataupun setan. Tambahannya itu ialah zat minyak (vet), putih telur (eiwet, protein), tepung (zetmeel, carbohydr) air dll, zat yang diterima oleh bayi tadi dalam waktu 20 tahun tadi.

Kalau satu mayat yang beratnya 50 kg sesudah beberapa tahun cuma tinggal 20 kg tulang belaka, maka daging yang hilang, yang terdiri dari beberapa zat-asli yang sudah diketahui itu, tiadalah melayang ke matahari, bulan ataupun lain tempat, melainkan tinggal dalam daerah bumi kita, dalam bumi dan udara dikelilingnya. Barangkali sebagian dikandung oleh tumbuhan disekitarnya tumbuhan tadi, di dalam tanah atau air yang disana sini atau di udara. Hilangnya zat-asli di alam ini bisa didapat kembali di tumbuh-tumbuhan atau hewan dalam alam kita juga. Tambahnya zat-asli itu boleh dihitung dari zat-asli yang bebas dari kandungannya hewan atau tumbuhan di tempat yang mendapat tambahan tadi. Jumlah di alam tetap saja seperti dahulu. Tak ada tambahnya dan tak ada pula kurangnya. Seandainya bumi kita sekarang ini mempunyai jumlah zat X kg, tetapi besok Cuma X-y kg, maka yang Y kg itu boleh kita cari pada tumbuhan, hewan ataupun manusia yang menerimanya. Jumlahnya di dunia tetap X kg juga.

92 elemen zat-asli yang dikenal sekarang, yang ada di bumi dan udara kita pulang pergi, tumbuh atau mati, menjelma menjadi tumbuhan, hewan dan manusia dan kembali pula ke tanah atau udara. Jumlahnya tetap, berpadunya atau berpisahnya berlaku menurut undang yang tetap. Hilang pada satu tempat, terdapat pada tempat yang lain. Tak ada tambah jumlahnya. Tak pula ada kurangnya. Benda itu tetap jumlahnya. Kodrat (energy) itu tetap pula jumlahnya, di dunia ini, di bumi dan sekalian bintang di langit, serta di udara yang terdapat di alam ini.

Tadi LOGIKA MISTIKA mendapat bantahan dari UNDANG PERTUMBUHAN (The Law of Evolution). Dalam uraian kita di atas ini, kita lihatlah perbantahan yang lain. Logika MISTIKA pertama berbantah dengan Undang Tentang Ketetapannya Jumlah Kodrat Di dunia ini (Joule). Bertentangan pula dengan kawannya ialah Undang Ketetapan Jumlah Benda. Sama sekali tiada bisa dicocokan dnegan Undang Perpaduan yang tetap (Dalton). Diperingatkan lagi, bahwa Maha Dewa RAH dalam kurang dari sekejap mata, dengan kata PTAH saja, menimbulkan berjuta-juta bintang, bumi dan langit.

Pertama disini kita lihat kejadian yang berlawanan dnegan common sense, pikiran sehat. Baik dalam kamarnya ahli pisah ataupun diluarnya tak pernah kita menyaksikan satu kata bisa menimbulkan benda. Dalam dongeng atau cerita memang kita cukup menjumpai kegaiban itu. Tetapi dalam 40 tahun belakangan ini saja, di antara 2.000.000.000 manusia itu belum pernah saya dengar satu makhluk yang bisa dengan kata saja menimbulkan seekor macan, jangankan lagi Bumi atau Bintang. Rohani, kata kosong, menurut pikiran sehat tak bisa menimbulkan benda. Tak ada itu tak bisa menimbulkan ada. Dalam dialektika Idealisme kita bisa menjumpakan kosong mengandung arti ada, atau tak ada mengandung arti ada. Tetapi dalam logika ataupun Dialektika yang berdasarkan kebendaan, hal itu adalah mustahil, satu omong kosong. Lapar tak berarti kenyang buat si miskin. Si Lapar yang kurus kering tak akan bisa kita kenyangkan dengan kata kenyang saja, walaupun kita ulang 1001 kali.

Kedua, sudah kita lihat, bahwa menurut Undang tentang Ketetapannya Jumlah Kodrat, satu rupa kodrat bisa menjelma mengambil rupa yang lain. Cuma jumlahnya di dunia tetap adanya. Jadi kalau Rohani atau kodrat panas, kodrat uap, kodrat listrik atau besi berani yang ada di dunia ini, mestinya kodratnya RAH kehilangan jumlah kodrat yang ada di seluruhnya dunia. Pendek kata, RAH itu sendiri tak mempunyai kodrat lagi, RAH sendiri sudah bertukar menjadi kodrat Alam, Natural Force, yang berupa panas, cahaya, listrik dll. Yang semuanya terkandung dalam benda di seluruh alam kita.

Ketika semua benda di alam ini : bumi, matahari, bintang, tumbuhan, hewan dan manusia – mestinya menurut Undang Ketetapan Jumlahnya Benda, datangnya dari benda juga. Cuma rupanya benda-asal itu berlainan dari benda-jadi ini. Bagaimana satu bentuk benda menjelma menjadi bentuk yang lain, berlaku menurut Undang Perpaduan seperti sudah ditetapkan oleh Dalton. Tegasnya benda-asal mesti ada lebih dahulu, baru benda yang ada di dunia sekarang bisa pula ada.
Benda asal itu menurut Kant adalah benda-lebur (molten-mass). Dari benda-lebur itu berjalan sepanjang Undang Perpaduan dan Perpisahan (Dalton dll). Sesudah juta-jutaan tahun kita sampai kepada beberapa cenkiemige cellen, yakni beberapa biji-asli yang bertunas satu. Beberapa biji-asli yang bertunas satu ini sesudah jutaan tahun pula, berhubung dengan perubahan iklim dsb. sepanjang Undang Pertumbuhan (Darwin) kita akhirnya sampai ke alam kita sekarang.

Sebagai kebulatan pemeriksaan kita sampai sekarang kita bisa tetapkan, bahwa penimbulan dunia benda dan kodratnya itu oleh Rohani atau Firman dalam sekejap mata saja adalah berlawanan sekali dengan segala undang yang dipakai dalam ilmu pasti.

Marilah sebentar mengendalikan, bahwa Rohani itu terdiri dari Zat. Inipun ada mengandung perbantahan diri sendiri. Bukankah Rohani itu dianggap suci, tidak kotor seperti zat. Terkuasa, artinya tidak takluk kepada undang dan sifat yang mengenai zat, Rohani tak bisa berubah, tumbuh atau susut, sakit atau senang, hidup atau mati, bersih ataupun kotor. MAHA DEWA RAH, ialah terkuasa, tersempurna, tersuci, tak bisa dikenal oleh undang yang mengenai zat. Kalau DIA masih bisa dikenal oleh undang yang mengenai zat, bukanlah ia RAH lagi, bukanlah ia tekuasa lagi, bukanlah pula DIA maha sempurna dan maha suci lagi !

Belumlah lagi habis saya tuliskan yang diatas ini, maka menjelmalah di depan saya rohnya para pemikir Egypte. Mereka dengan kawannya para ahli kegaiban yang ada di sekitar kita sekarang membantah dengan keras. Dewa RAH menimbulkan zat dengan segala undang yang dipakai dalam ilmu PASTI sekarang supaya sesudah ditimbulkan itu, alam bisa bekerja sendiri menurut undangnya sendiri. Buat menyelidiki yang di belakang ini saya tiada perlu memakai cara membantah dengan mengandaikan seperti di atas tadi, yang dalam Ilmu Logika dinamai cara reductio ad absurdum. Menurut cara itu tadi rohani itu sebentar diandaikan zat. Sekarang boleh saya pakai cara yang lazim dipakai oleh orang desa ialah menghitung dengan memakai jari.

Kini persoalan bukanlah lagi mana yang bermula Zat ataukah Roh, melainkan siapa yang terkuasa Dewa RAH ataukah ALAM? Tiga jawab yang mungkin, dan tiga jari pula yang perlu dipakai.

Dewa Rah lebih kuasa dari Alam dan Undangnya.
Dewa Rah sama kuasa dengan Alam dan Undang Alam.
Dewa Rah kurang kuasa dari Alam dan Undang Alam.

Balik kita kejari ke 1, yakni pada telunjuk yang mengatakan bahwa Dewa Rah lebih kuasa dari Alam dan Undangnya!

Menurut Ilmu Bintang zaman sekarang, maka jutaan Bintang dan Bumi beredar menurut Undang yang pasti, ialah undangnya Newton. Undang itu diakui syah, dipelajari di sekolah, dan dipakai oleh Ahli Bintang buat menghitung hal yang berkenaan dengan bumi dan bintang. Undang Newton tetap diakui syahnya, walaupun Einstein dalam beberapa perhitungan bisa mendapatkan hasil yang lebih jitu. Kalau undang alam yang dilukiskan oleh Newton itu jatuh, ataupun satu menit saja berhenti, maka kacau balaulah jutaan bumi dan bintang tadi. Tetapi selama Ilmu Pasti lahir dan ahli-ilmu-pasti memperhatikan jalannya Bumi dan Bintang ini, belumlah satu saat juga undang gerakan bintang itu dapat perkosaan. Belum pernah Maha Dewa RAH – yang mestinya masih ada menahan matahari naik, atau mencegah matahari turun Pasti Rah tak akan bisa.

Peralaman (Experimenten) yang dijalankan dalam Laboratorium pada 5 benua di muka bumi ini belum pernah memungkiri Undang yang dikenal, dalam Ilmu Kodrat (Mekanika) Ilmu Alam, Ilmu Pisah dll. Undang alam itu terus jalan dengan tetap pasti, tak perduli, di waktu mana ataupun tempat mana juga. Dimana saja, bila saja undang itu dilaksanakan, dia berjalan tetap terang. Seperti pepatah Indonesia: Terang, bersuluh bulan dan matahari, bergelanggang di mata orang banyak. Pasti pula Maha Dewa Rah tak akan bisa merubah jalannya undang itu, pasti tak bisa.

Seorang pemikir nakal pernah berkata: yang kuat di alam ini mengalahkan yang lemah. Undang Alam ini sudah termasuk ke dalam common sense. “Ini semut’’,katanya pula, “ini jari saya, lebih kuat dari semut itu’’, katanya terus. “Kalau ada Kodrat, yang bisa mencegah Alam menjalankan Undangnya, tolonglah semut ini’’, katanya yang penghabisan. Pada saat itu juga ditekankannya jari pada semut yang lemah tadi. Semut tadi pasti mati. Quot erat demonstandum. Demikianlah dibuktikan kebatalannya andaian ke 1 tadi.

2. pada jari tengah Dewa Rah sama kuasa dengan alam dan undang alam.

Kalau begitu apa gunanya menyembah Dewa Rah? Dewa Rah tidak diketahui jalannya. DIA adalah satu kegaiban yang maha besar. Sedangkan alam bukanlah semuanya gaib, sudah banyak diketahui undangnya, jalannya. Boleh dilihat akibatnya dan disimpulkan segala buktinya. Ditunjukkan kebenarannya dengan tak pernah mungkir. Boleh dipakai undangnya itu buah keselamatan dan kesenangan didup. Jadi lebih baik sembah junjung dan puja alam saja, barang yang nyata itu. Seandainya Maha Dewa RAH tak menyetujui hal ini, maka dia boleh parani alam dan kalau perlu berjuang, mengukur kekuatan dengan alam. Karena kekuatan RAH dan Alam itu seperti sudah kita andaikan tadi sama, maka kita makhluk yang hina ini boleh menjadi penonton saja. Kita tak perlu takut. Dewa Rah tak akan bisa berhenti memarani kita penonton. Karena DIA tak bisa lepas dari gelutan, sepak-terjang, terlak serta kuntauannya alam yang sama-kuat dengan Dewa Rah itu.

3. Pada jari manis : Dewa Rah kurang kuasa dari alam dan Undangnya.

Seandainya kemungkinan ini benar, maka kita ingat pada nasibnya Dr. Frankenstein. Dia, seperti kita tahu, membikin seorang raksasa. Dia menghidupkan kembali dengan jalan Ilmu Listrik satu mayat. Tetapi otaknya mayat itu, ialah otaknya seorang bangsat. Raksasa yang dihidupkan ini menjadi musuh mati-matian Dr. Frankenstein. Sang dokter terpaksa lari bersembunyi saja, tak sanggup menentang buatannya sendiri. Kasihan pula kita kalau Dewa Rah membikin Alam yang lebih berkuasa dari pembikin, ialah Rah sendiri, sampai terpaksa lari bersembunyi.

Dr. Frakenstein bisa mencari tempat bersembunyi. Tetapi kemanakah Dewa Rah akan bersembunyi? Bukankah semua yang ada ialah alam yang takluk pada undangnya alam? Demikianlah menurut kemungkinan yang terakhir ini Maha Dewa Rah mestinya takluk pada Alam. Sebagai bukti, ialah dimana saja dan pada waktu mana saja undangnya alam tak pernah dan tak bisa dapat bantahan.

Demikianlah kalau kita pakai pikiran yang jernih, hati berani dan jujur, memikirkan, bahwa zat berasal pada Rohani, kita mesti tersesat. Kita mesti akui, bahwa hakekat yang semacam itu bertentangan dengan akal.

Gauthama Budha yang saya anggap ahli filsafat MISTIKA yang terbesar, semenjak dunia ini diketahui, ahli filsafat yang lebih besar pengaruhnya dari ahli filsafat Barat, dari Plato sampai Hegel, lebih besar dari pada pengakuan Barat sendiri. Gauthama Budha yang sudah mengakui, bahwa Rohaninya sudah bersatu padu dengan Roh Alam, sudah sampai ke Nirwana jika disesakkan oleh muridnya dengan pertanyaan: apakah Roh Alam (Rohani) itu sama dengan Jiwa (manusia?), terpaksa menjawab: “Pertanyaan itu salah’’.

Artinya hal semacam itu jangan ditanyakan. Artinya Budha sendiri tak bisa menjawab. Tiada pula kita heran kalau ahli MISTIKA zaman sekarang, yang sebesar kaliber Mahatma Gandhi, kalau ditanyakan apakah ahimsa itu, maka Sang Mahatma memakai cara menjawab yang oleh Ahli Logika Yunani dinamai circulo in finiendo, ialah berputar-putar tak habis-habisnya, seperti menghesta kain sarung.

Seperti Asia di jaman sekarang, demikianlah Eropa di jaman tengah (tahun 478-1492) tak bisa bercerai dengan persoalan creation, yakni timbulnya dunia yang tak bisa dipisahkan pula dengan Deisme, ialah kerohanian. Pada zaman inilah scholastisme bersimaharajalela.

Tetapi pada masa dan sesudahnya Revolusi Perancis (1789), maka filsafat itu tiada lagi dimulai dan diakhiri dengan persoalan timbulnya dunia dan ke-Tuhanan.

MADILOG – BAB II F I L S A F A T

Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu sekali kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak.

Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat yang mempunyai ratusan, ya, ribuan buku itu. Kita lebih dahulu mesti pisahkan arah-pikiran para ahli filsafat. Kalau tidak, niscaya bingunglah kita, tak bisa memisahkan siapa yang benar, siapa yang salah. Seperti para pemain sepak bola tadi kacau balau di mata kita, tak tahu apa maksudnya masing-masing, begitulah di mata kita para ahli filsafat berkata semau-maunya saja, kalau tak ada pangkal tak ada ujung.

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang “Das Kapital”, yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat “Anti Duhring” dan “Ludwig Feurbach” sejarah dan ekonomi.

Sebagai co-creator Engels melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis Materialisme dan komunisme, dengan bahasa yang terang, populer, jitu dan merdu. Engels memisahkan para ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum Idealis “umumnya” memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang-kadang perlawanan tinggal tersembunyi tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang, cocok dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik. Kadang-kadang idealis di luarnya itu, materialis di dalamnya, sarinya; Spinoza, kadang-kadang materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.

Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealis, kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley yang berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di masa revolusi Perancis yang berpuncak pada Marx-Engels. Di antaranya itu didapati banyak ahli filsafat campur aduk scientists, setengah idealis setengah materialis.

Biasanya musuh proletar, menerjemahkan dan menyamarkan “materialisme” itu sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup tak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai sesukanya saja. Sedangkan idealisme itu diterjemahkan dan dijunjung tinggi sebagai satu ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih memperhatikan berpikir dari pada makan, dan kebudayaan yang sampai menjaduhi kaum ibu seperti seorang santri, resi. Dalam keadaan yang benar, dalam kehidupan mereka, kita tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang memangku paham idealis berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala sederhana dan seperti suami dan bapak yang setia.

Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan, semata-mata berdasarkan atas sikap yang diambil si pemikir, ahli filsafat dalam persoalan yang sudah kita tuliskan lebih dahulu, yakni mana yang pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau fikiran, matter atau idea. Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme, itulah yang idealis. Yang mengikut materialisme, itulah yang materialis. Hidup segala sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada memperdulikan kesehatan diri sendiri, dan kebaikan buat masyarakat itu bergantung kepada watak masyarakat, dan didikan masing-masing orang.

Dengan memakai pemisahan yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi persoalan yang mudah bagi kita. Dengan mengambil satu contoh, satu model saja, kita bisa ketahui seluk beluknya perkara yang bersamaan dan bersangkutan. Dengan David Hume sebagai ahli filsafat idealis, kita bisa gambarkan semua ahli filsafat idealis dari Plato sampai Hegel.

“If I go into myself”, “kalau saya masuki diri saya sendiri”, kata Hume, maka saya jumpai “bundles of conceptions”, bergulung-gulung pengertian, bermacam-macam gambaran dari pada benda.

Kalau Hume hendak mengetahui apakah benda yang bernama buah jeruk itu umpamanya, maka yang ia insyafi cuma rasanya yang manis itu, kulitnya yang licin itu, beratnya yang 1/2 atau ¼ kilo itu, warnanya yang hijau atau kuning itu, bunyinya yang nyaring atau lembek itu. Bunyi itu ada di telinga, dalam badan Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume, bukan pada jeruk, rupanya pada mata, rasanya di lidah atau di ujung jari Hume. Semuanya bunyi, rupa dan rasa itu dengan perantaraan saraf, nerve, berjalan ke pusat ke centre, ke otak.

Otak mencatat bunyi, rupa dan rasa tadi menjadi pengertian, conception, seperti pengertian merdu, kuning, berat, lezat dan licin. Semua pengertian ini ” dalam” saya, kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk itu sebagai benda, tak ada bagi saya. Yang ada Cuma “ide”, pikiran, pengertian, tentang benda itu dalam otak saya. Otak saya penuh dengan pengertian “bundles of conceptions” kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. “Engkau” kata Hume, cuma “ide” buat saya.

Tetapi Engkau buat Hume adalah saya buat tuan Smith umpamanya, dan saya buat Hume, adalah engkau buat Smith. Jadi engkau cuma ide, cuma gambaran buat Hume itu mestinya juga gambaran buat Smith. Hume yang dipandang dari pihak Smith ialah engkau mestinya satu gambaran, satu ide saja. Tak ada Hume itu buat Smith sebagai orang, sebagai ahli filsafat. Yang ada cuma gambaran dalam otak Smith.

Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada. Beginilah akibatnya yang konsekwen dari Idealisme, dengan membatalkan adanya benda, ia membatalkan dirinya sendiri.

Demikianlah David Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction dan menganggap ide yang pertama, dalam menentang benda sebagai dasar yang pertama, tewas dalam tentangannya membatalkan adanya diri sendiri. Dengan begitu ia sebetulnya membatalkan filsafat idealisme itu.

Sesudah Hume, boleh dibilang filsafat idealisme sudah mati. Tetapi barang yang mati itu acapkali menjelma hidup kembali dengan memakai bentuk baru, seperti Pharao Rah dan Ptah tadi, sekarangpun masih ada bentuknya.

Emmanuel Kant ahli filsafat Jerman kesohor itu, mengangkat naik kembali bendera Hume, tetapi tidak dengan konsekwensi Hume. Kant tidak berjalan terus jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata Lenin, filsafat Kant tidak boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat berkelahi. Menurut Kant, kita bisa ketahui dengan pancaindera kita sesuatu benda, tetapi “Ding an Sich” benda sendirinya, kita tidak bisa ketahui.

“Kalau sudah kita ketahui sesuatu barang dengan pancaindera apa juga lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu“ begitulah kaum materialis bertanya. Buat kaum materialis hal itu sudah cukup. Tetapi buat Kant itu belum cukup. Ia tak sepenuhnya memihak pada Hume dan bilang terus terang, bahwa benda itu buat dia tak ada, yang ada cuma gambaran dalam otaknya. Tetapi ia cari rumput buat sembunyi dengan memakai “Ding an Sich” benda itu sendiri.

Jawab Engles dalam hal ini, pendek dan jitu. Kata Engels: dari hari ke sehari “Ding an Sich” itu, sudah menjadi “Ding an Furuns”. Benda yang sendirinya itu tidak diketahui, dari sehari ke sehari sudah menjadi “benda kita”. Keterangan Engels tentang “Ding Fur Uns” itu dulu banyak saya cari tapi tak berjumpa. Tetapi menurut pikiran saya, jawab Engels yang pendek ini mesti diterjemahkan sebagai berikut:

“Air” umpamanya, yang dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita seperti suatu barang yang ajaib, sekarang kita sudah ketahui “zat asalnya”, ialah Hydrogen dan oxygen. Sudah diketahui, menurut undang mana dia berpadu, ialah menurut Undang Dalton. Apa rasanya air itu kalau diraba atau diminum. Berapa beratnya 1 L. Apa gunanya buat kita, buat tumbuhan dan hewan. Bagaimana sifatnya, dsb. Apa juga lagi yang mesti di “Ding an Sich”kan tentang air, nenek moyang kita cuma mengetahui 4 zat saja di alam ini ialah :tanah, air, api, udara. Sekarang sudah diketahui 92 zat asli, elementen. Yang diketahui sudah boleh kita periksa dengan pancaindera kita, dengan perkakas yang kita bikin, seperti microoskop, telescoop dan teropong, perkakas yang bisa membesarkan kuman, beratus ribu kali dan mendekatkan bintang beratus ribu kali. Perkakas yang dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah kepastiannya dan kejituannya. Semua zat yang kita ketahui itu boleh kita pada satu sama lainnya, kita buat makanan dan kesehatan kita, kita pakai kodratnya buat kehidupan dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan membom. Yang belum kita ketahui, sedang kita cari dengan giat dan dengan lebih besar pengharapan mendapatkannya karena teori, cara berpikir dan perkakas kita makin banyak, makin baik.

Dimana lagi “Ding an Sich” itu tempatnya, pada zaman, di mana alam yang dahulu kala, dianggap gaib itu, sebagian besar sudah diketahui dan dikontrole, dikemudikan dipakai menjadi “Sing fur Uns”, yakni benda kita, seperti kata Engels tadi. Idealis yang lebih licin, karena ia memakai Dialektika dan Logika dengan cara dan bahasa yang tiada ada bandingnya selama ini, ialah Hegel. Lama Marx, walaupun ia sudah Marxis, sesudah meninggalkan gurunya, Hegel, dilekati Hegelisme.

Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan synthesis di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau mata si pemandang.
Buat Hegel “absolute Idee” ialah, yang membikin benda “Realitat”. “Die absolute Idee macht die Gesichte” absolute idee yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idee “deren nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist” yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan masyarakat dibikin Absolute Idee, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada lain tempat Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Saat ialah “verwieklichung” penjelmaan, absolute idee itu. Absolute Idee itu sama dengan Metaphysik, Idee sendirinya, idee yang tak dibikin, yang tunggal tak jatuh pada undang sebab dan akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada tempo dan tempat, melainkan tunggal, terkuasa dan sempurna. Absolute Idee itu tergambar jitu dan pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama dengan metaphysik, yakni gaib di luar Ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte purbakala, Dewa Rah.

Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu, kalau ia memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari semua yang lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas dari makanan, ya, lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau beruntung seperti Gautama Budha, maka leburlah Rohani, Jiwanya dengan Rohani yang mengisi Alam ini.

Feurbach, materialis besar, yang dianggap jembatan antara Hegel dan Marx, mula-mula memakai Dialektika juga. Buah pikirannya ketika itu banyak memberi alat pelajaran pada Marx dan Engles. Tetapi setelah Feurbach melemparkan Dialektika sebagian besar disebabkan hidup terpencil, seolah-olah terbuang dari pergaulan, maka hasil pemeriksaannya jauh terbelakang dari Hegel. Hegel dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung filsafat yang negatif, yakni ujung yang membatalkan, ujung yang buntu. Feurbach dianggap sebagai ujung yang positif, yakni pembuka jalan yang baru ke jalan Dialektis Materialistis. Kaum Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran senjata Dialektika, tetapi membuang Idealisme Hegel.

Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel, (sebagai pelajar ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme), akhirnya memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini dianggap berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagai mana mestinya. Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan pikiran.

“Negara kata”, kata Marx “ialah satu akuan dan hasil dari perjuangan klas”. Perjuangan klaslah yang menjadi “Motive-Force”, kodrat pergerakan sejarah masyarakat, kodrat mengubah bentuk Negara, jadi bukanlah “Absolute Idee”, seperti kata Hegel. Zaman berbudak bertukar menjadi Zaman Feodal, Zaman Ningrat. Zaman Feodal itu sesudah Revolusi Perancis pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman-Kuno dalam pandangan sekarang. Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada zaman Berbudak, ialah pertentangan budak dan tuan. Pada zaman feodal, pertentangan Ningrat dan Tani, pertentangan pemimpin gilde dengan anggota gilde. Pada zaman Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan kaum modal. Pertentangan klas yang berdasar atas pertentangan ekonomi itulah yang menjadi kodrat buat menumpu masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Dari masyarakat berdasarkan perbudakan ke masyarakat berdasar keningratan, ke masyarakat berdasar kemodalan. Jadi pertentangan itu bukan pertentangan ide saja, seperti menurut paham Hegel – nanti akan diteruskan – tetapi pertentangan barang yang nyata, pertentangan antara dua klas besar yang berjuang, yang sekarang terus berjuang.

Pertentangan klas, ialah klas manusia, ialah barang yang nyata itu, berdasar atas pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan tehnik. Tehnik yakni perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada zaman ini dimiliki oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya, menjadi alat adanya perjuangan klas itu. Semua perkakas dan klas manusia, yang menjalankan peranan dalam sejarah kita manusia ini adalah barang yang nyata semuanya. Peranan sejarah itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan oleh Absolute Idee itu, sebagaimana juga sejarah tumbuhan-hewan-manusia, bumi dan binatang tidak dikemudikan oleh Dewa Rah, Rohani, Ahimsa dsb.

Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut undang tarik menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuhan-hewan dan manusia bersejarah menurut undang-evolusinya Darwin, beginilah sejarahnya masyarakat manusia bersejarah menurut undangnya Historisch-Materialisme (Sejarah Materialisme), yang juga dinamai Dialektika Materialisme.

Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua: Dialektika Idealistis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh kaum yang bermodal dan berkuasa dengan pengikutnya, yang kedua, oleh kaum proletar yang revolusioner. Di antara dua filsafat bertentangan tadi, sudah tentu ada bermacam-macam filsafat bukan buat bertarung. Hegelisme yang memang revolusioner terhadap kaum Ningrat Jerman, tetapi kontra revolusioner terhadap kaum Proletar, sudah tentu baik buat tempat berlindungnya kaum reaksioner seperti kata Marx: “Dalam bentuknya yang reaksioner, Hegelisme menjadi adat, sebab bentuk ini menerjemahkan keadaan yang ada”.

Idealisme tak akan mati selama masih ada perjuangan klas ini, selama ada kaum yang menghisap dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada satu pihak, mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada lain pihak ia memakai kemegahan, majiat rohani buat meninabobokan kaum pekerja, supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang matanya seperti mata burung merpati dan kesenangan kekal akhirat.

Demikianlah sesuai dengan perjuangan kelas, idealisme atau tak berdialektika, membentuk dirinya supaya cocok dengan keadaan klas yang memegangnya. Dimana Kapitalisme masih muda, kokoh karena sedang naik seperti Amerika, maka lahirlah idealisme berupa “pragmatisme” yang dikemukakan oleh John Dewey. Filsafat pemikir dari negara yang mempunyai “the biggest of all”, semuanya paling jempol, ini katanya berdasarkan “objective truth”, hakekat yang obyektif, yang tenang, tetapi kalau diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa “objective truth”, tadi bergantung pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi Amerika “the country of the free”, negara merdeka ialah buat borjuasi amerika. John Dewey mengambil masyarkat borjuis dan paham borjuis sebagai titik permulaan berpikir, ketika Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai sebelum perang ini kemakmuran Amerika, yang disangka akan tinggal kekal tadi, sudah menyusuli kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah bersimaharajalela dan tetap.

Sekarang buat 11.000.000 buruh, jadi buat kira-kira 33.000.000 buruh dengan anak bininya, “obyective truth” tadi, tidaklah begitu “obyective”, tidaklah begitu tenang. Semua barang yang memberi ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi, polisi dan hak milik turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham, perasaan dan penghidupan kaum proletar Amerika sekarang.

Dimana pergerakan buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum perang 1914-1918, maka dalam kalangan proletar sendiri idealisme itu tiadalah berani keluar terang-terangan. Dalam kalangan kaum proletar sendiri masuk bermacam-macam isme, yang diluarnya berupa materialisme, tetapi pada dasarnya terdapat idealisme. Lenin dalam bukunya: “Empiris-Critism” dengan terang dan jitu mengemukakan, pemisahan kaum ahli filsafat atas dua partai, seperti pertama kali dikemukakan oleh Engels, ialah partai ahli filsafat idealis dan partai materialis. Dengan sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai oleh Empiris-Critism, Machinisme Neo Vitalisme, dll. Dan memperlihatkan idealisme yang sebetulnya jadi dasar filsafat mereka.

Di Rusia usahanya Lenin dan Plechanoff, (yang dalam kalangan Marxisten di Rusia sendiri sering saya dengar bahwa Plechanoff lebih besar dalam ilmu filsafat dari pada Lenin), usahanya dua ahli filsafat Materialis ini akhirnya menjatuhkan kekuasaan filsafat Idealisme di Rusia dan memaksa dia bekerja diam-diam. Dialektis Materialisme ialah Ilmu Pemandangan Dunia, “Weltanschauung” yang resmi, opisil di Sovyet Rusia.

Di sebelah Barat Eropa, idealisme masih sangat berkuasa dan pada masa ini idealisme-lah yang resmi. Idealisme Barat mendapat bentuk baru, dan pakaian baru, ialah anarchisme palsu, dari ahli filsafat Bergson dan syndikalisme dari Serel. Anachisme Bergson bukanlah anarchisme beraksi, seperti ilmu yang dipeluk oleh anarchis besar, ialah Bakunin. Bergson, Spengler dan Nietsche (yang belakang ini ialah satu filosoof krachtpatser, siapa kuat, siapa raja, Ubermensch) inilah yang dipeluk oleh Adolf Hitler dan Nazi. Filsafat Fasisme dianjurkan oleh pemikir Geovani Gentile.

“Facisme”, kata pemikir ini “bukanlah New System, tata filsafat yang baru, melainkan aksi-baru dan paham-baru”. “Manusia” katanya pada hakekatnya beragama. Manusia dan Tuhan selalu dalam “ewige Bewegung der Selbstverwirklichung”, pergerakan kekal buat berpaduan.

Sedikit kita selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama sekali menaikkan bendera reaksi di Eropa Barat, apabila partai Bojuis liberal kacau, partai Sosialis maju-mundur dan partai Komunis sebagian tak berpengalaman, tetapi terutama juga “sangsi” sebab negara Italia, kalau dikomuniskan gampang dikepung dan dijauhkan oleh Kapitalisme Eropa Barat dan Amerika.

Fasisme kata Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru memang tidak, kalau dipandang dari kaca-mata idealisme. “aksi-baru dan paham-baru” katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar dengan pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar – kapitalis model baru. Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku “18th Brumaire of Louise Bonaparte”, tentang aksi dan paham Louise Bonaparte di Perancis, maka aksi dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru dari aksi dan paham tua. Mussolini, bapak fasisme juga amat tertarik oleh Napoleon Besar “ommpya” dari Louse Bonaparte sampai ia mentonilkan Napoleon, yang katanya orang Italia itu.

Bahwa manusia dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa penyelidikan yang tenang, yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak mengetahui agama. Akhirnya kalau kita baca “pergerakan kekal buat perpaduan manusia dan Tuhan” menurut filsafat fasis itu, kita ditarik lagi ke negara Kapilawastu, ke kaki gunung Himalaya; mengagumkan percobaan Gautama Budha, mempersatukan rohnya dengan roh Alam buat masuk ke Nirwana. Cuma Gautama Budha tak seperti Mussolini memakai tongkat dan “kastor-olie” buat mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti, pemimpin sosialis Italia, musuh besar Mussolini yang hilang lenyap selama-lamanya buat melakukan “paduan dengan Tuhan itu” dengan lekas.

Perjuangan klas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis dan tinggal di tanah, di perut, seperti dialektis materialisme (orang mesti makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels), tetapi filsafat itu adalah bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee seperti kata Hegel.

Pada permulaan, filsafat itu timbul pokok, yang jadi persoalan, ialah “semua ini”. Ahli filsafat bertanya: “semuanya ini, bumi, langit dan pikiran itu sendiri, apakah artinya?” Lama-lama persoalan “semua ini” cerai-berai. Bumi dan langit sudah jatuh menjadi ilmu Bintang, yang sesudah Galilei, Copernicus, Newton, Einsten dll. Mendapat undang yang sementara boleh dikatakan sempurna.

Bumi kita ini jatuh kepada Ilmu Bumi, Geography dan Ilmu Tanah, Geology, yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang pula. Perkara yang berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu Alam. Perkara yang berhubungan dengan berpaduan beberapa zat, sehingga mendapatkan sifat baru, termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya memeluk Ilmu Kimia, sekarang menceraikan dirinya dari Ilmu Listrik, yang sekarang karena besar daerahnya dan dalam artinya mesti dipelajari sendirinya.

Pemeriksaan atas tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan atas hewan dan manusia jatuh pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu Hidupnya asal dan penjelmaannya Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula pada Biology, satu Ilmu yang boleh dikatakan muda, dan banyak sekali mengandung arti buat kita. Umpamanya perkara evolusi atau pertumbuhan otak dan Pikiran dari otak binatang sampai ke otak manusia.

Sudahlah tentu satu Ilmu dengan yang lain, ada seluk beluk dan perhubungannya, Ilmu Alam dan Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang mempelajari Ilmu Kedokteran. Begitu pula agriculture, Ilmu Pertanian tak bisa berpisah dari Ilmu Alam dan Ilmu Kimia tadi. Demikianlah pula seorang Insinyur, jatuh dan berdiri dengan Ilmu Alam dan Matematika.

Syahdan, maka masing-masing Ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan pergaulan kita, kemajuan industri, perniagaan dan pesawat terpaksa dipecah-pecah lagi, terpaksa di-”specialiceer” lagi, terpaksa dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan begitu perkara yang tiada berkenaan bisa disingkirkan dan waktu itu boleh dipakai buat memeriksa dan memperdalam perkara yang diistimewakan itu. Ilmu Kedokteran sudah pecah menjadi kedokteran umum, perkara gigi, telinga, mata, kanak-kanak dsb. Adalah bahaya buat Science, kalau pecah-pecahan itu (pada Ilmu yang sudah banyak itu) akan pecah terus, dengan tidak lagi mengetahui perhubungan satu Ilmu dengan Ilmu yang lain.

Bahaya itu kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat buat menjauhkannya. Kalau saya tak salah, maka perkataan filsafat sekarang diterjemahkan juga buat menggambarkan daya upaya mempersatukan Ilmu bermacam-macam itu, jadi buat memeriksa seluk beluk dan perhubungannya. Dengan begitu, maka si Scientist, si Ahli mungkin kehilangan hutan, karena sangat memperhatikan pohon-pohon saja.

Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil saja. Daya upaya semacam inilah sekarang yang sering diartikan oleh perkataan filsafat. Bukan lagi sikap yang diambil oleh ahli filsafat purbakala, yang dengan memangku tangan dan tafakur, bertanyakan: “Apakah artinya Alam dan apakah artinya pikiran itu?” Demikianlah kalau kita peramati kemajuan Ilmu Filsafat tadi, maka kita lihat pada Zaman Tengah tahun 478-1492 si pencari Hakekat dilekati oleh Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari hakekat itu, kalau persoalan itu tiada digarami, dilimaui (dijeruki) dan dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu, pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan “Jasmani dan Rohani”, badan dan pikiran. Sudah lama pula filsafat ini jatuh ke tangan psychology, Ilmu jiwa, Ilmu yang memeriksa “the working of the mind” kerjanya otak. Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh si pemikir di atas kursi malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan ke laboratorium. Disinilah otak binatang dan manusia dipisah, diperiksa, diexperimentkan, diperalamkan. Disinilah instinct, yakni pikiran hewan, perasaan, kemauan hewan dan kecakapan hewan dalam belajar, diperiksa, diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan akal, perasaan dan kemauan manusia. Experimentalis William James dan Thorndyke di Amerika, Pavlov di Rusia dan experimentalis yang lain, banyak mengumpulkan pengalaman yang berharga dan masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan diuji oleh Ilmu yang muda tetapi sangat menarik hati. “Ketahuilah dirimu sendiri “. Inilah sari persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang terkenal ialah Socrates.

Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas “the working of the mind”, kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium bersama dengan Ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment, pengalaman.

Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi beberapa ilmu yang berdasarkan experiment.

Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan sejarah, ialah sejarah masyarakat Indonesia.

Marx memandang dari sudut pertarungan klas, berkata dalam 11 thesis : Die Phylosophen haben die Welt nur verschienden interpretiert. Es komt aber daraufan die Welt zu veraendern. Para ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu!

PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER 1945

Pada tgl 19 September 1945 mulai pukul 10.00 pagi bertempat digedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) diadakan Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Cukup banyak yang dibicarakan dalam rapat tersebut termasuk rencana pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) oleh ayahnya Prof DR Soemitro Djojohadikusumo yaitu Margono.

Tetapi ada agenda cukup penting yang rupanya dibicarakan secara khusus, yaitu berlangsungnya “Rapat Raksasa Ikada” yang penyelenggaraannya dipersiapkan dan dilaksanakan rakyat Jakarta dan sekitarnya yang dimotori Pemuda-Mahasiswa Jakarta.Rencana Rapat Akbar yang sejak awal tempatnya sudah ditetapkan yaitu Lapangan Ikada (sekarang pojok timur Monas), pada mulanya dimaksudkan untuk memeperingati satu bulan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi rencananya dilaksanakan pada tanggal 17 September 1945. Tapi rupanya rencana ini ditanggapi fihak Pemerintah Republik Indonesia secara maju mundur. Ada kesan Pemerintah sangat berhati-hati atau nyaris takut kepada kekuasaan Militer Jepang yang baru saja kalah perang. Untuk ini Kabinet sudah membahasnya dalam rapat tgl 17 September 1945. Kurang disetujuinya rencana rapat tersebut oleh Pemerintah, antara lain atas pertimbangan rakyat yang berkumpul cukup banyak , yang akan memancing kemarahan militer Jepang dan mungkin mengakibatkan bentrokan fisik dimana dikhawatirkan akan jatuhnya banyak korban sia-sia. Memang fihak militer Jepang jauh hari telah mengeluarkan larangan berkumpulnya massa lebih dari lima orang. Dan bukan hal yang tidak mungkin fihak Jepang yang sekarang telah menjadi alat sekutu, sudah menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh SEAC (South East Asia Command) yaitu untuk mempertahankan keadaan Status Quo.

Fihak panitia penyelenggara yang terdiri dari banyak Pemuda dan Mahasiswa yang menggunakan nama panitia “Komite aksi”, menganggap Pemerintah harus didesak dan dimotivasi terus agar sadar bahwa Rapat Raksasa ini penting untuk diselenggarakan guna menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Inilah perwujudan nyata dari proses demokrasi dan harus dikampanyekan kepada dunia. Bukankah Republik Indonesia secara defacto sudah ada melalui fakta adanya Rakyat, Wilayah dan Pemerintah. Dalam Rapat Ikada inilah khsusnya penduduk Jakarta dan sekitarnya akan membuktikan suatu legitimasi politik bahwa “Indonesia sekarang telah Merdeka” yang didukung rakyat. Karena tidak kunjung jawaban dari Pemerintah Republik Indonesia, ahirnya fihak penyelenggara memutuskan untuk mengundurkan rencana acara tgl 17 menjadi tanggal 19 September 1945.

Sedangkan tempat masih tetap direncanakan dilapangan Ikada.Pada tanggal 18 Sptember 1945 jam 11.00 pagi, tiba-tiba Mr Achmad Subardjo selaku menteri Luar Negeri RI mengadakan konferensi Pers untuk menyampaikan keputusan Pemerintah yang isinya sepertinya menghilangkan harapan rakyat yaitu menolak rencana Rapat Raksasa Ikada. Beliau juga memerintahkan agar rencana pembatalannya diberitakan dalam Berita Indonesia (sebuah surat kabar pada saat itu). Reaksi para pemuda dan mahasiswa yang hadir dalam konferensi tersebut sudah bisa diperkirakan sejak semula. Mereka menyatakan sikap bahwa “Apapun yang akan terjadi Rapat Raksasa Ikada akan tetap diadakan pada esok pagi yaitu tgl 19 September 1945”.

Sikap ini sebenarnya bukan hanya luapan emosi semata, tapi beralasan antara lain karena persiapan Rapat Raksasa Ikada sudah berjalan cukup jauh, termasuk usaha untuk mengundang rakyat dari berbagai peloksok Ibu kota dan daerah sekitar Jakarta. Cara pemberitaan ini cukup sukses padahal alat komunikasi sangat terbatas. Pada umumnya penyampaian berita undangan dilakukan secara berantai melalui sistim pembagian wilayah pada zaman Jepang dan organisasi RT/RW saat itu (Tonarigumi).Pemuda-mahasiswa protes kepada Pemerintah dan berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada Pemerintah dan meminta keputusan ditinjau kembali.

Desakan para hadirin agar Pemerintah sekali lagi bersidang, ahirnya ditanggapai oleh Men.Lu Achmad Subardjo dan berjanji untuk menyampaikannya kepada Presiden Sukarno. Setelah bubaran, para pemuda-mahasiswa tidak langsung pulang kerumah tapi berkumpul ditempat kelompoknya masing-masing, untuk membicarakan tindakan selanjutnya. Sedikit gambaran Pasca Proklamasi, setidaknya ada 3 kelompok besar pemuda-mahasiwa yang berbeda dalam latar belakang politiknya. Yang pertama kelompok Prapatan 10 (asrama mahasiswa kedokteran Ikadaigakho) yang 100 % terdiri dari mahasiswa, kelompok Menteng 31 yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan kelompok BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar Indonesia) jl Cikini no.71. Terdiri dari campuran Mahasiswa dan Pelajar. Diluar itu ada juga kelompok yang tidak kalah partisipasinya dalam persiapan ini yaitu kelompok pelajar SMT (Sekolah menengah Tinggi) Jakarta. Dan dalam jumlah kecil ada juga para pemuda yang tergabung dalam asrama Indonesia merdeka dijalan Kebon Sirih no.80 Jakarta, dan pemuda dari Barisan Pelopor Jakarta. Mereka semua merupakan motor-motor persiapan Rapat Raksasa Ikada pada saat itu.

Anehnya berbagai kelompok pemuda/mahasiswa ini yang pada zaman Jepang dan awal Revolusi berbeda faham, tapi kini menjelang Rapat Raksasa bisa bersatu dan saling bahu membahu bekerja sama.Jangan dilupakan juga pada saat itu terdapat banyak para pemuda ex tentara PETA dan HEIHO yang sudah menceburkan dirinya dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Organisasi mereka juga punya peranan yang menentukan dalam persiapan pengamanan Rapat Raksasa Ikada. Komandan BKR Jakarta pada saat itu adalah mantan Shodanco Mufraini Mukmin yang belakangan akan menjadi Komandan Resimen Jakarta. Yang tidak kalah pentingnya Polisi ex Jepang (Polisi macan) yang sudah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Merekalah satu-satunya kekuatan bersenjata yang ada difihak RI pada saat itu , termasuk untuk pengamanan keselamatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet.Untuk persiapan pendukung, telah siap pula anggota PMI (Palang Merah Indonesia), ibu-ibu penyelenggara Dapur Umum , dokter-dokter serta dokter-dokter muda CBZ (Centralle Burgerlijk Ziekenhuis) yang sejak zaman Jepang sudah berganti nama menjadi Roemah Sakit Pergoeroen Tinggi.

Mereka mempersiapkan obat-obatan, dan alat-alat medis lainnya serta telah dipersiapkan pula beberapa buah Ambulance. Yang tidak kalah menentukan adalah wartawan dan dokumentator, Radio Republik Indonesia , Juru Foto IPPHOS, serta Cameraman dari Studio Multi Film atau bahasa Jepangnya “Nippon Eiga Sha” (ex perusaan film Propaganda Jepang yang belakangan menjadi PFN) yang akan mendokumentasikan peristiwa penting ini. Hasil dokumentasi mereka ini nantinya meru-pakan satu-satunya visualisasi seluloid tentang hal tersebut sampai sekarang. Setelah menunggu beberapa saat rupanya Pemerintah menepati janjinya untuk mengadakan rapat kabinet kembali. Pada tgl 18 September 1945, jam 20.00 bertempat dikediaman Presiden Sukarno, jl Pegangsaan Timur 56, Men.Lu Achmad Subardjo melaporkan kepada Presiden tentang pertemuannya dengan pemuda-mahasiswa pada pagi hari dimana mereka pada dasarnya tetap bertekad untuk melaksanakan Rapat Raksasa Ikada.

Meskipun Rapat sebagian anggota kabinet ini berlangsung sampai jam 4.00 pagi, tapi tidak menghasilkan apa-apa dan diputuskan akan dilanjutkan di kantor KNIP di Lapangan Banteng besok paginya tgl 19 September 1945 dalam rapat pleno dimana anggota kabinet lengkap.Kembali kepada penuturan awal diatas dimana sedang berlangsungnya Rapat Kabinet tgl 19 September 1945, nampaknya semua unsur mengalami kegelisahan yang cukup mencekam.. Disatu fihak pemuda-mahasiswa panitia penyelenggara dari Komite Aksi yang sejak pagi hari sudah menghadapi masa yang terus berbondong-bondong menuju Ikada yang diperkirakan telah mencapai lebih dari 100.000 orang. Kepada panitia ini massa rakyat menuntut untuk menghadirkan segera para pemimpin bangsa, khususnya Presiden Sukarno. Difihak yang lain Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta dan seluruh anggota Kabinet bersama anggota KNIP masih mengulur-ngulur waktu tampa tau harus berbuat apa. Nampaknya disini dibutuhkan seseorang tokoh sentral yang berani dan tegas untuk berkata ya atau tidak sama sekali.

Sementara sekitar jam 12.00, kabinet sudah mengutus Mohammad Roem (Ketua KNIP Jakarta) dan Soewirjo (Walikota Jakarta) untuk menemui fihak militer Jepang untuk membicarakan hal-hal mengenai rapat raksasa tersebut. Dalam pembicaraan ini ada kesan bahwa fihak Jepang mulai kewalahan melihat pengumpulan masa yang makin lama makin besar tampa bisa berbuat sesuatu. Mereka meminta Roem dan Suwirjo, membubarkan kumpulan massa rakyat tersebut. Hal ini dijawab Roem dan Soewirjo bahwa yang bisa membubarkan kumpulan massa itu hanya satu orang yaitu Presiden Sukarno. Kedua utusan Kabinet ini juga sempat menyaksikan keadaan dilapangan Ikada secara langsung, termasuk persiapan pasukan Tentara Jepang yang sudah sempat memobilisir sejumlah besar pasukan infantri bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus yang didukung pasukan tank dan panser.

Semua hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Sukarno. Ahirnya menjelang pukul 16.00 Presiden Sukarno tidak mungkin berpangku tangan lagi dan dengan tegas menyatakan “ Saudara-saudara menteri dengarkan keputusan saya. Saya akan pergi kelapangan Ikada untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya. Siapa yang mau tinggal dirumah boleh, terserah kepada saudara masing-masing”. Dengan adanya keputusan tersebut maka berahirlah sidang kabinet, dan secara resmi Pemerintah menyetujui Rapat Raksasa Ikada dilangsungkan. Dan hampir semua hadirin dalam sidang digedung KNIP ini ternyata ikut menuju Lapangan Ikada mengikuti Presiden, menurut caranya masing-masing. Presiden Sukarno sendiri telah dijemput pemuda-mahasiswa dari panitia penyelenggara Komite Aksi. Mobil yang dipergunakan mahasiswa tidak tanggung-tanggung sebuah mobil berwarna hijau militer Jepang (kuning hijau) bekas milik salah seorang pimpinan Kempetai. Kendaraan ini dikendarai oleh mahasiswa Sujono Joedodibroto (sekarang profesor ahli mata) dan dimuka dikawal dua buah motor indian yang dikendarai Subianto Djojohadikusumo (gugur sebagai letnan satu Polsi Tentara dalam peristiwa lengkong Tanggerang awal tahun 1946) dan Daan Yahya (mantan Panglima Divisi Siliwangi tahun 1948 dan gubernur militer Jakarta Raja tahun 1950).

Rupanya rombongan tidak langsung kelapangan Ikada tapi mampir di Asrama mahasiswa kedokteran jalan Prapatan no.10 Jakarta, karena Presiden Sukarno mau mengganti pakaian dahulu yang berwarna putih yang diambil dari rumah. Sekitar jam 16.00 tepat barulah rombongan Presiden yang dikawal mahasiswa ini yang kini sudah bertambah, termasuk mahasiswa Eri Sudewo, Sujono markas, Patiasina, Kamal dan sebagainya. Sebelum masuk kelapangan Ikada (kira-kira dimuka PLN sekarang), rombongan Presiden turun dari mobil yang langsung disambut rakyat. Bersama rombongan besar rakyat inilah Presiden dan anggota kabinet berjalan bersama menuju tempat yang sudah disediakan. Nampak beberapa tokoh mendekati Presiden, antara lain Hatta, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Mufraini Mukmin dan sebagainya. Tapi baru beberapa meter mereka berjalan tiba-tiba sudah dihadang beberapa perwira Jepang yang meminta agar Rapat dibubarkan. Salah seorang perwira Jepang ini adalah Let.Kol Myamoto yang ditugaskan pimpinan militernya untuk berunding. Melalui penterjemah yang juga seorang mahasiswa, Presiden Sukarno kemudian menjelaskan bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya.

Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah kami satoe”. Menunggu kesempatan baik, rombongan lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno keatas podium kayu setinggi kurang lebih 3 meter dikawal ajidan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan Merdeka…Merdeka…Merdeka, yang sambung menyambung. Maka Presidenpun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tampa bersuara antara lain beliau berkata : “ Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan.

Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara “ dijawab dengan serentak oleh rakyat “Sanguuup”. Lalu Presiden melanjutkan “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam nasional…..MERDEKA….”.Maka terjadilah keajaiban tersebut. Kumpulan massa yang dianggap fihak Jepang akan sukar dikendalikan, ternyata mau menurut Presidennya dan pulang kerumah masing-masing dengan teratur. Apakah arti peristiwa Rapat Raksasa Ikada ini ?. Bahwa rakyat Indonesia pada dasarnya mudah disatukan dalam langkah dan geraknya oleh kekuatan dari sebuah figur kharismatik serta diarahkan dan dikendalikan untuk tujuan yang postif dengan syarat jangan mengecewakan mereka.

Bung Karno sebagai Presiden memiliki itu semua yang harus menggambarkan antara lain bahwa, para pemimpin harus tegas dan lugas dan merupakan bagian dari mereka, dimana hal tersebut dimungkinkan kalau para pemimpinnya sendiri selalu turun kebawah. Para pimpinan rakyat khususnya pemuda dan mahasiswa amat menentukan dalam pembuatan kebijakan Nasional yang disepakati bersama, semua fihak dengan lebih dahulu dimusyawarahkan secara demokratis.

Peristiwa sejarah lokal yang menyangkut masalah Demokrasi, yang terjadi setelah setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 ini selalu menarik dikaji karena benar-benar diselenggarakan oleh rakyat, untuk kepentingan perjuangan Nasional dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selanjutnya rakyat menyadari bahwa hal itu amat penting sekali terutama dalam mewujudkan utuhnya Kepemimpinan Nasional. Meskipun usaha ini dilakukan di Jakarta secara lokal, tapi maksud utamanya secara Nasional untuk melegitimasi Pemerintahan RI yang sah baik yang menyangkut lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sesungguhnya hal ini penting mengingat gaung Proklamasi belum cukup merata kepeloksok tanah air.

Selain itu belum terlihat tindakan bangsa Indonesia untuk mewujudkan Negara Kesatuan RI secara nyata sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Proklamasi maupun UUD 1945. Dan yang lebih penting lagi timbulnya keraguan masyarakat akan kedaulatan NKRI padahal dengan mata telanjang sejak awal September 1945 rakyat Indonesia menyaksikan masih eksisnya balatentara Jepang, pasukan sekutu yang mulai berdatangan yang diyakini diboncengi pula pasukan Belanda, sementara Pemerintah RI yang dipimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak nampak berbuat banyak.

Ada sebuah kekhawatiran lain dari fihak penguasa politik Bangsa pada waktu itu baik yang beraliran Nasionalis, Islam maupun Sosialis bahwa masa pendudukan Jepang berpengaruh sangat dalam dalam rencana pembangunan Bangsa dan Negara pasca Perang Dunia ke II. Konflik ini sangat mencuat mengingat baik Soekarno maupun Hatta adalah tokoh-tokoh yang erat bekerja sama dengan Jepang termasuk dalam mewujudkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya beberapa gelintir tokoh politik yang benar-benar bersih dari kerja sama dengan Jepang, namun tidak dapat berbuat banyak karena nilai kepemimpinannya tidak dihargai rakyat sebegitu besar yang dimiliki Soekarno, atau penokohannya tidak dikenal. Situasi inilah yang menggambarkan masa transisi dari pendudukan Jepang kepada zaman Kemerdekaan dalam tahun 1945.

Berkaitan dengan hal diatas Soekarno sebagai Presiden dari kabinet Presidensiel pertama (sering disebut kabinet Buco) harus mampu menerima kritik maupun tuduhan-tuduhan politik yang belum tentu benar termasuk keabsahan dirinya sebagai pimpinan eksekutif yang diangkat rakyat. Adalah Sjahrir dan Tan Malaka yang paling vokal menyebar luaskan berbagai kelemahan Soekarno selama masa pendudukan Jepang. Dan hal ini banyak ditelan bulat-bulat oleh sebagian kaum muda yang tergabung dalam kelompok pemuda-mahasiswa. Buat Belanda yang memiliki badan NICA (Netherlands Indie Civil Administration) yang baru kemudian secara resmi tiba di Jakarta pada awal Oktober tiba di Jawa, isu politik ini amat menguntungkan dan mulai membina masyarakat Indonesia yang pro Belanda serta melakukan persiapan-persiapan akan kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda yang kabur ke Australia ketika Jepang secara resmi masuk ke Indonesia pada tgl 8 Maret 1942. Diantara tokoh NICA yang tiba lebih dahulu dengan tentara sekutu adalah Van der Plas.

Usaha-usaha yang dilakukannya adalah mulai merehabiliter ex tentara KNIL baik yang bebas maupun yang baru lepas dari camp interniran Japang. Agitasi dan provokasi Van der Plas cs, membuat Jakarta menjadi kurang aman karena dimana-mana timbul konflik bersenjata yang memakan korban tidak sedikit. Padahal kelompok pemuda-mahasiswa Jakarta sedang giat-giatnya melakukan pengambil alihan badan-badan Pemerintah ex Jepang untuk difungsikan dalam Pemerintah RI atau setidaknya Pemerintahan Daerah Jakarta Raya.

Slogan-slogan anti Kolonialisme dan Imperialisme bermunculan yang ditulis oleh pemuda-mahasiswa Jakarta pada dinding-dinding gedung, trem dan kereta api maupun dalam spanduk-spanduk yang dapat dibaca dipersimpangan jalan-jalan, Semua ini dengan harapan dapat dibaca siapa saja khususnya tentara sekutu bahwa “Indonesia sudah Merdeka dan berdaulat”. Menanggapi tuntutan massa untuk berpidato dalam rapat raksasa Ikada, nampaknya Bung Karno melihat segi negatif dan positifnya usaha rakyat tersebut.

Segi negatifnya kalau saja fihak-fihak terkait baik rakyat yang sudah menyemut yang diperkirakan berjumlah 300.000 orang, maupun fihak penguasa militer Jepang yang sudah harus bertanggung jawab kepada fihak sekutu sebagai pemenang perang dunia dan kini melakukan stelling tempur kearah rakyat. Keduanya bisa mengalami konflik fisik, yang dapat diperkirakan akan menimbulkan pertumpahan darah hebat.

Segi positifnya adalah terbetuknya sosok Persatuan, Kesatuan Nasional serta munculnya nilai-nilai Demokrasi. Serta yang lebih pasti adalah legitimasi Pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat dibawah Presiden Soekarno. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, tidak banyak yang diucapkan dalam pidato tersingkat yang pernah disampaikan Soekarno. Namun apa yang tersirat dalam pidato tersebut sungguh sebuah monumen nasional yang tidak akan dilupakan orang. Semua fihak baik mengagung-agungkan dirinya, mencerca dirinya dan mengancamnya selama zaman Jepang dan disekitar Proklamasi, termasuk yang berpikiran naif tentang manusia bernama Soekarno ini, pada ahirnya mengakuinya bahwa Republik ini dalam mengusahakan perjuangan bangsa selanjutnya setelah Preoklamasi 17 Agustus 1945 membutuhkan seorang PEMIMPIN NASIONAL yang tidak pernah ada duanya dalam sejarah Indonesia.

Mengenang HUT Kesatu Proklamasi

Serdadu dari divisi India Fighting Cock tentara Sekutu mengepung kediaman PM Sutan Sjahrir di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, untuk mencegah jangan masuk orang menghadiri upacara keesokan hari yaitu peresmian Tugu Kemerdekaan yang didirikan di halaman muka. Namun, waktu senja mulai berdatangan gadis-gadis berpakaian putih yang semalam-malaman memasang lilin sekitar tugu bersahaja, kecil, terbuat dari batu dan semen.

Rombongan gadis itu bisa lolos menerobos lingkaran serdadu-serdadu Sekutu. Mereka amat bersemangat menghadiri upacara peresmian Tugu Kemerdekaan yang dilakukan PM Sjahrir. Masa itu, Sjahrir disapa akrab dengan panggilan Bung Kecil. Tugu itu bisa didirikan atas inisiatif sekumpulan kaum perempuan yang secara menantang memberi kesaksian atas keberadaan Republik Indonesia yang diproklamasikan satu tahun lalu.

Kini Tugu itu, bersama rumah kediaman Presiden dan Perdana Menteri, tempat proklamasi kemerdekaan diumumkan Soekarno-Hatta, telah digusur atas “petunjuk” Presiden Soekarno. Sepotong sejarah telah hilang. Tiada pernah lagi generasi muda dapat bertamasya melihat-lihat bagaimana rupa dan keadaan rumah tempat proklamasi kemerdekaan diucapkan. Saya tidak hadir pada peresmian Tugu Kemerdekaan di Jakarta karena berada di Yogyakarta menghadiri perayaan HUT pertama proklamasi di Gedung Negara tempat kediaman Presiden Soekarno yang sejak tanggal 4 Januari 1946 bersama Wapres Hatta hijrah dari Jakarta.

Naik andong bersama Mien Usmar Ismail, wartawan Belanda Frans Goedhart dan Dolf Verspoor pada malam tanggal 17 Agustus, saya menyisir Jalan Malioboro menuju gedung yang di zaman kolonial merupakan kediaman Gouverneur Adam. Yogyakarta kurang tenaga listrik, jalanan kelam taram temaram. Bendera Merah Putih tidak begitu banyak. Trotoar Malioboro dilalui rakyat yang mondar- mandir. Tiba depan halaman Gedung Negara tampak rakyat yang menonton dari luar. Tidak banyak. Penjagaan polisi tidak ketat. Pengawal presiden seperti zaman sekarang belum ada. Protokol berjalan santai. Kesan umum yang diperoleh ialah serba kesederhanaan, keterbatasan. Segera kami berdiri dalam barisan menunggu giliran menyampaikan selamat kepada Presiden Soekarno dan Wapres Hatta. Acaranya biasa-biasa saja. Presiden mengucapkan pidato, tidak dengan suara menggelora.

Segalanya berlangsung dengan sober atau seadanya. Ruangan tidak terang benderang hingga saya agak sukar mengenali orang. Sugandi, ajudan Presiden, tentu jelas kelihatan, begitu pula Ruslan Batangtaris, ajudan Wapres. Ada saya lihat tubuh gempal Kolonel Djoko Suyono dari Badan Perjuangan, kelak jadi tokoh pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948, beserta pemimpin pemuda Sumarsono yang masih hidup dan kini berdiam di Australia. Saya lihat Boes Effendi dari PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang kelak menjadi diplomat. Kedua wartawan Belanda yang ikut bersama saya ialah Frans Goedhart, pemimpin redaksi surat kabar Het Parool, anggota Partij van den Arbeid dan Nazi Jerman.

Frans tersohor sebagai penulis dengan nama samaran Pieter ’t Hoen. Dolf Verspoor kendati warga Belanda bekerja untuk kantor berita Perancis, AFP. Dolf pengagum sajak-sajak Chairil Anwar dan kelak memperkenalkan puisi Indonesia kepada publik Belanda dan Perancis. Kedua wartawan itu tidak memakai setelan baju lengkap, hanya mengenakan seragam pantalon kemeja warna coklat muda seperti yang dipakai tentara Amerika. Berangsur-angsur barisan bergerak. Frans Goedhart yang berada di muka sudah berjabatan tangan dengan Presiden Soekarno dan Wapres Hatta.

Dolf Verspoor menyusul, tetapi ketika dia mengulurkan tangannya ke arah Ny Fatmawati tahu-tahu Ibu Negara yang memakai kerudung itu tidak mau bersalaman. Dolf yang rupanya mengerti situasi dengan cepat hanya menundukkan kepala sejenak sebagai tanda memberi hormat, lalu berjalan terus. Saya pikir mungkin Ny Fatmawati tidak mau salaman karena Dolf adalah orang Belanda, “musuh kita”. Atau mungkin karena Dolf bukan muhrim, dan menurut tafsir fikih tidak boleh bersentuhan secara fisik? Dolf kemudian tidak bicara tentang “insiden” itu. Saya juga diam saja. Sebab, kejadian tadi saya rasakan agak pijnlijk atawa menyakitkan. Frans Goedhart berkomentar atas pidato Presiden, “Fair on met open vizier, zo is Soekarno” (gagah berani dan dengan pandangan terbuka, begitulah Soekarno). Seorang wartawan lain ialah Graham Jenkins dari surat kabar Australia, The Age.

Dia tidak bersama saya, tetapi ikut Soedarpo Sastrosatomo dari Penerangan Luar Negeri Kementerian Penerangan yang biasa membawa koresponden luar negeri ke pedalaman meninjau situasi nyata Republik. Graham yang pro-Republik menulis, “Penduduk Yogya masih dapat makanan cukup dan di toko-toko masih bisa dibeli cukup barang. Ongkos penghidupan murah. Jalan-jalan penuh dengan serdadu, tetapi jumlah kendaraan bermotor kurang. Bensin cukup di Republik, tetapi persediaan ban mobil payah”. Inilah sekelumit kenangan wartawan tentang keadaan saat itu, saat saya jadi redaktur pertama harian Merdeka.

Sneevlit membawa Komunisme ke Hindia

Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak muncul begitu saja. Perjalanan sejarahnya ditanah air cukup panjang yang penuh dengan peristiwa menarik yang bernada sedih atau menggembirakan.

Diyakini bahwa adalah HJFM Sneevliet (nama lengkapnya Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, atau sering dipanggil Henk) sebagai pembawa idiologi ini ke Indonesia. Dalam biogra-finya disebutkan bahwa dirinya dilahirkan di Roterdam pada tgl 13 Mei 1883. Putra dari Anthonie Sneevliet, seorang tukang pembuat serutu dan Johanna Woutera van Mackelenberg. Setelah lulus HBS (sekolah menengah atas),pada tahun 1902 bekerja sebagai pegawai perusahaan kereta api .

Rupanya disanalah dia mulai terlibat dalam organisasi SDAP (Sociaal Democratische Arbeiderspartij) yang beraliran Marxis. Pada th 1904 dia diangkat sebagai pegawai stasiun di Zwolle. Th 1907, melalui pencalonan SDAP, dirinya diterima sebagai anggota dewan kota Zwolle dan dua bulan kemudian diangkat sebagai pimpinan ranting SDAP setempat.

Sneevliet juga aktif dalam serikat buruh Belanda, NV dimana pada th 1911 ia menjadi ketuanya. Di Zwolle itulah dia berteman baik dengan Henriette Roland Holst van der Schalk yaitu seorang tokoh kiri yang cukup terkenal. Melalui jalan yang berliku, pada th 1913, Henk Sneevliet berangkat ke Hindia. Pada bulan Maret tahun yang sama jabatannya adalah redaksi media Soerabaiasch Handelsblad. Dan pada tanggal 1 Juli 1913, dirinya tercatat selaku sekeratis Handelsve-reeniging (serikat dagang) di Semarang.

Saat itu pula dirinya diangkat sebagai penasihat pengurus besar VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramwegpersoneel atau serikat pekerja Kereta Api dan Trem). Pada 9 Mei 1914, dia mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) dan sekaligus menjadi ketuanya.

Di Hindia ISDV tidak berkembang, sampai nanti dua orang aktifis Sarekat Islam anggota buruh Kereta Api dan Trem yang berhasil dita-riknya sebagai anggota. Mereka adalah Semaun dan Darsono. Pada tgl 24 Mei 1920, ISDV resmi berganti nama menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia).

Dan 7 bulan kemudian, menjadi anggota Komunis Internasional (Komintern). Partai menjadi subur dan berkembang pesat sampai dilarang Pemerintah Kolonial karena pada tahun 1926 melakukan pemberontakan. Riwayat Sneevliet sendiri tidak begitu cerah setelah diusir dan kembali ke Belanda 1918. Pada tgl 12 April 1942, ia dihukum mati oleh pemerintah pendudukan Nazi Jerman.

Soe Hok Gie – Aktivis Mahasiswa di Orde Lama yang Idealis

Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit seorang novelis dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.

Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66.

Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.

Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan. Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”

Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.dalam buku catatannya dia memang pernah menulis ingin suatu saat ia meninggal di atas puncak tertinggi di Pulau Jawa dan keinginan itu sepertinya telah terwujud

Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production telah meluncurkan film berjudul “Gie” yang diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis.

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Tragedi Bintaro, Air Mata di Atas Kereta

Mayat-mayat begelimpangan, sebagian dalam keadaan tidak utuh. Bau darah anyir memenuhi udara. Tubuh-tubuh yang lain terjepit di antara besi-besi, sebagian masih hidup. Hari itu 19 Oktober 1987. Dua buah kereta api yakni KA255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta dan KA 220 cepat jurusan Tanahabang – Merak bertabrakan di dekat stasiun Sudimara, Bintaro. Peristiwa itu terjadi persis pada jam sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah korban juga besar sangat besar yakni 153 orang tewas dan 300 orang luka-luka.

Peristiwa itu merupakan yang terburuk setelah peristiwa tabrakan kereta api tanggal 20 September 1968, yang menewaskan 116 orang. Tabrakan terjadi antara kereta api Bumel dengan kereta api cepat di Desa Ratujaya, Depok.

Bermula ketika KA 225, Stasiun Sudimara pada pukul 6:45. Selang 5 menit kemudian, Jamhari, (petugas PPKA Sudimara) menerima telepon dari Umriadi (Petugas PPKA Kebayoran Lama) yang mengabarkan KA no.220 berangkat menuju Sudimara. Jamhari pun lantas memerintahkan masinis KRD 225 yang berada di jalur 3 dilansir ke Jalur 1.
Di kilometer 18 dari Stasiun Tanah Abang peristiwa terjadi. Mendekati Kampung Bintaro seperti biasa, peluit kereta dibunyikan oleh masinis Slamet. Namun dari arah yang berlawanan tiba-tiba datang KA 220. Tak ayal dua lokomotif yang terdiri dari tujuh gerbong dan sama-sama sarat dengan penumpang tersebut bertabrakan secara frontal. Beberapa penumpang yang duduk di atas atap sempat melompat namun sebagian lagi tidak sempat menyelamatkan diri. Akibatnya kondisi gerbong yang beradu muka sama-sama hancur mengenaskan.

Polisi menyebutkan, kesalahan terindikasi dilakukan oleh Pemimpin Perjalanan KA (PPKA) Stasiun Serpong yang lalai melihat tanda di komputer bahwa kereta dari arah Stasiun Sudimara sudah diberangkatkan. Tanpa melihat komputer, ia langsung memberangkatkan KA jurusan Jakarta. Sementara dari arah Jakarta (Stasiun Sudimara) pun kereta sudah melaju.

Akibat tragedi tersebut masinis Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, maka ia memilih pulang ke kampung halamannya menjadi petani di Purworejo sana. Kini ia menapaki masa senjanya dibalut kemiskinan dan menanti seberkas sinar terang untuk memperoleh pengakuan atas jerih payah pengabdian selama lebih 20 tahun di atas roda besi.

Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei (kondektur KA 225). Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umriadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.

Sedangkan seorang mantan pengatur sinyal kereta api yang juga dinyatakan bersalah dan kini menapaki masa tua juga dengan penuh penantian. Meskipun setelah melalui banding, ia sudah diputus tidak bersalah, namun hingga kini hanya bisa menunggu datangnya mukjizat untuk memperoleh pengakuan atas pengabdiannya selama lebih dari dua puluh tahun. Badan ringkih itu kini acapkali nampak ada di stasiun Rangkas Bitung, sekedar untuk nostalgia dan tentu saja memperoleh belas kasihan kolega yang juga sama-sama pantas dikasihani.

Dan Iwan Fals pun melantunkan kepiluan tragedi nasional itu. Sembilan belas Oktober tanah Jakarta berwarna merah. Meninggalkan tanya yang tak terjawab, bangkai kereta lemparkan amarah. Air mata… air mata….

sejarah istana negara

Istana Negara dibangun tahun 1796 untuk kediaman pribadi seorang warga negara Belanda J.A van Braam. Pada tahun 1816 bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jendral Belanda. Karenanya pada masa itu istana ini disebut juga sebagai Hotel Gubernur Jendral.
Pada mulanya bangunan yang berarsitektur gaya Yunani kuno itu bertingkat dua, namun pada tahun 1848 bagian atasnya dibongkar, dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang, tanpa perubahan yang berarti. Luas bangunan ini lebih kurang 3.375 meter persegi.

Sesuai dengan fungsi istana ini, pajangan serta hiasannya cenderung memberi suasana sangat resmi. Bahkan kharismatik. Ada dua buah cermin besar peninggalan pemerintah Belanda, disamping hiasan dinding karya pelukis – pelukis besar, seperti Basoeki Abdoellah.

Banyak peristiwa penting yang terjadi di Istana Negara. Diantaranya ialah ketika Jendral de Kock menguraikan rencananya kepada Gubernur Jendral Baron van der Capellen untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol. Juga saat Gubernur Jendral Johannes van de Bosch menetapkan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel. Setelah kemerdekaan, tanggal 25 Maret 1947, di gedung ini terjadi penandatanganan naskah persetujuan Linggarjati. Pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Dr. Van Mook.

Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, diantaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara – acara yang bersifat kenegaraan, seperti pelantikan pejabat – pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasioal, dan tempat jamuan kenegaraan.

Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih kurang 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Negara sebagai kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan Negara.

(Istana Kepresidenan RI, Sekretariat Presiden RI,2004)

Redaksi | Syarat & Kondisi | Peta Situs | Kontak